Menyusul tahun 2020 yang penuh tantangan, prospek minyak nabati pada tahun 2021 akan bergantung pada beberapa faktor utama yang akan mempengaruhi dan mengubah hubungan dalam demand maupun supply

Harga
Harga minyak nabati saat ini berada dalam level tertinggi selama ~10 tahun sehingga memiliki dampak negatif terhadap konsumsi. Di banyak negara berkembang, konsumsi minyak nabati terutama sebagai bahan pangan akan terpengaruh. Prospek minyak sawit sendiri bearish, dengan demand diperkirakan datar karena harga yang tinggi. Harga CPO bulan April 2021 telah mencapai titik tertinggi sepanjang masa dalam Ringgit Malaysia dan tertinggi sejak 2012 dalam USD.
Pemulihan dari Pandemi COVID-19
Pandemi Covid-19 tidak berdampak parah pada permintaan minyak nabati jangka panjang karena minyak nabati adalah kebutuhan sehari-hari dalam kehidupan banyak orang di seluruh dunia, baik itu bahan pokok dapur, bahan pembersih atau bahan bakar terbarukan. Faktanya, industri oleokimia juga mengalami peningkatan hingga 60% pada tahun 2020 akibat kebutuhan alat pembersih yang meningkat seiring pandemi Covid-19. Namun dalam jangka pendek, permintaan minyak nabati dunia sangat bergantung pada kesuksesan proses vaksinasi virus COVID-19. Keberhasilan vaksinasi akan meningkatkan aktivitas ekonomi yang secara langsung akan meningkatkan konsumsi minyak nabati.
Kelanjutan Mandat Biodiesel, terutama program B30 di Indonesia
Meskipun dilanda pandemi Covid-19, konsumsi domestik kelapa sawit terbantu adanya pengembangan program biodiesel dari B20 ke B30 pada tahun 2020. Program B30 Indonesia berhasil mengalokasikan 8.4 juta ton CPO pada tahun 2020 yang berperan sebagai bantalan agar harga tidak jatuh ke level yang merugikan. Dalam konteks ini, penting bagi kedua negara produsen utama untuk melaksanakan amanat biodiesel, yaitu B30 untuk Indonesia dan B20 untuk Malaysia.
Impor dan Stok Tiongkok
Tiongkok mulai mengalihkan konsumsi minyak sawitnya kepada minyak kedelai. Impor kedelai ditingkatkan karena tidak hanya dapat diolah sebagai feedstock minyak nabati, namun juga sebagai bahan pakan ternak, terutama babi. Oleh sebab itu, Tiongkok saat ini memiliki stok kedelai terbesar di dunia.

Harga
Harga semua minyak nabati saat ini tinggi akibat minimnya supply minyak nabati dunia. Harga akan cenderung tetap tinggi dan di atas rata-rata selama 2021, tetapi melemah dari level saat ini karena produksi minyak nabati dunia diproyeksi akan mengalami rebound pada 2021/22.
Produksi Sawit
Pasokan minyak sawit diperkirakan akan kembali tahun ini. Produksi sawit Indonesia diproyeksi akan meningkat sebanyak 5-8%, dan produksi sawit Malaysia juga diproyeksi naik meski tidak sekuat Indonesia, sekitar 2-3%. Hal ini adalah akibat masalah ketenagakerjaan yang dihadapi Perkebunan sawit Malaysia. Prospek pemulihan yang moderat dalam pasokan minyak sawit akan membatasi penurunan harga untuk sisa tahun 2021 meski ancaman perlambatan produksi akan terus menghantui.
Cuaca
Prospek harga minyak nabati untuk tahun 2021 akan bergantung pada perkembangan cuaca terutama terhadap kompleks kedelai di Amerika Selatan. Jika terjadi peristiwa La Niña yang parah, produksi kedelai akan berkurang. Hal ini akan menyebabkan pasar terus kuat, tetapi jika hasil panen bagus, maka produksi akan naik dan kisah bullish saat ini akan memudar.
Penanaman Kembali
Supply minyak sawit global tengah mengalami perlambatan penanaman baru di Indonesia dan Malaysia sejak 2015 karena lahan pertanian yang terbatas. Oleh sebab itu, penanaman kembali kelapa sawit adalah kunci untuk meningkatkan hasil minyak sawit di produsen terbesar pertama dan kedua dunia. Program PSR yang diluncurkan pada Oktober 2017 dan menargetkan 180.000 hektar harus menjadi fokus jangka menengah pemerintah. Tetapi perlu diperhatikan juga bahwa dengan profil pohon sawit yang menua di kedua negara, program penanaman kembali akan membatasi supply minyak sawit dalam jangka pendek hingga menengah.
Di tahun 2021, supply secara relatif masih tetap akan terbatas sehingga harga diperkirakan masih tetap akan tinggi, sementara demand diperkirakan masih akan tetap lemah akibat pandemi yang berkelanjutan
dengan adanya varian baru